Gema Asa untuk Industri Kreatif Negara Indonesia



Cuplikan film Selamat Pagi, Malam. Salah satu karya anak bangsa (kepomponggendut.com)

Jakarta, CNN Indonesia -- Di tengah ketegangan suasana pemilihan presiden, Prabowo Subianto memeluk rivalnya, Joko Widodo. Pelukan fenomenal itu terjadi saat debat calon presideb membahas ekonomi kreatif, 15 Juni lalu.

“Produk-produk ekonomi kreatif belum diberi dukungan penuh. Kalau diberi, bisa dikembangkan,” kata Jokowi kala itu. Ia lantas memberi saran-saran konkret.

Seni pertunjukan harus dikemas lebih menarik dan modern dengan tata cahaya serta panggung. Karya animasi, potensial untuk diekspor.

Tanpa banyak kata, Prabowo langsung setuju. Ia mendukung apapun ide Jokowi untuk mengembangkan industri kreatif di Tanah Air. Menekan gengsi, Prabowo mendekat ke lawannya itu.

Pada momen itu, mungkin bukan hanya Prabowo yang ingin memeluk Jokowi. Seluruh pelaku industri kreatif pun mengembuskan napas lega. Bagi mereka, Jokowi membawa angin segar.

Setidaknya, itulah yang dirasakan salah satu sutradara kondang, Nia Dinata. Saat diwawancarai CNN Indonesia di kantornya, kawasan Cipete, Jakarta, Nia mengaku bahagia mendengar visi dan misi Jokowi soal industri kreatif. Kata Nia, Jokowi menganggap industri kreatif adalah aset negara.

“Budaya kita, tradisi, dan kualitas sumber daya manusia sudah artistik dari zaman nenek moyang. Ke depan, saya cuma ingin industri kreatif didukung tanpa menggelontorkan banyak uang,” ujar Nia. Menurutnya, mengembangkan industri kreatif dengan uang justru rentan korupsi.

Keringanan pajak

Langkah awal paling konkret yang bisa dilakukan Jokowi, kata sutradara film Arisan itu, adalah membuat regulasi yang memudahkan industri kreatif untuk berkembang.

“Misalnya, keringanan pajak bagi seluruh pelaku industri kreatif dari sektor manapun,” ujarnya menyebutkan.

Nia menambahkan, “Keringanan pajak untuk memproduksi, mempertontonkan karya, sampai mengeksplornya.”

Selama ini, ia merasa pajak masih menjadi hambatan besar bagi pelaku industri kreatif, terutama bidang film. Mengirim film untuk ikut festival internasional saja, biayanya jadi sangat membengkak.

“Kita kena pajak ekspedisi, itu kan berat ya, dan enggak ada keringanan,” kata Nia. Itu semakin menjadi masalah, saat film dikembalikan ke dalam negeri setelah diputar di festival internasional.

“Kita kena pajak lagi, karena dianggap itu barang impor. Padahal itu barang kita, yang dikirim untuk mengharumkan nama Indonesia di festival luar,” tuturnya menjabarkan.

Saat mempromosikan film dan memasang iklan di jalanan, ia juga tak merasakan ada keringanan. “Pajak iklannya sama saja seperti mempromosikan makanan atau minuman ringan di billboard,” ucapnya sedikit mengeluh.

Keringanan itu, menurut Nia, dibutuhkan untuk memangkas biaya produksi dan promosi film sehingga lebih berkembang.

Rantai industri film

Masalah perfilman Indonesia bukan hanya itu saja. Meiske Taurisia, produser film dokumenter menuturkan, rantai industri film belum berjalan beriringan sesuai peran masing-masing. Banyak mata rantai yang lepas sendiri-sendiri. Soal distributor dan pengarsip misalnya, masih belum ada.

“Dulu sekitar tahun 1980-an masih ada distributor. Bioskop dulu ada tiga ribuan, sekarang cuma 700-an. Di Palu enggak ada bioskop, Lombok saja enggak punya,” katanya pada CNN Indonesia. Pengarsip film seperti Sinematek dan Anri (Arsip Nasional Republik Indonesia) pun belum terlalu berperan.

Edukator khusus film pun hanya ada segelintir, seperti Institut Kesenian Jakarta, Bina Nusantara, dan Universitas Multimedia Nusantara.

Masalah-masalah itu, menurut Meiske bisa menghambat perkembangan industri film sebagai salah satu tiang ekonomi kreatif Indonesia. Ia berharap, pemerintah ke depan bisa menanggulangi itu.


Sumber : CNN Indonesia

No comments:
Write comments